Memaknai Rasa Syukur Dengan Berinfaq

Memaknai Rasa Syukur Dengan Berinfaq

Hiruk pikuk menjadi makanan sehari-hari di pusat kota yakni di Kabupaten Nganjuk. Tempat mengadu nasib dan penuh cerita. Mentari telah meninggi. Seiring dengan hal tersebut jalan raya didominasi oleh kaum pekerja sisanya orang umum. Pertokoan dan gedung kantor dipenuhi dengan orang berseragam.

Andre namanya. Sosok lelaki dengan senyuman riang di setiap langkahnya. Ia bekerja sebagai pengantar koran setiap pagi di kantor kami. Ia siap mengantarkan koran pagi hari sebelum kami masuk kerja dengan motor kesayangannya. Berkeliling ke suatu tempat ke tempat lain. Ia bangga dengan pekerjaannya.

Pria ini setiap akhir bulan selalu menyelipkan kwitansi pertanda kami harus membayar uang koran bulanan atas perintah agen, tempat yang mempekerjakannya.

Aku berbasa-basi menawarkan sesuatu padanya. Mungkin, ia mau menerima pendapatku. Kuawali dengan candaanku, memecah nuansa tegang di ruangan yang mendominasi warna putih.

“Mas, setiap hari mengantar koran apa gak lelah Mas?” tanyaku menatap wajahnya.

“Santai ajalah, Mbak. Saya kerja jadi pengantar koran sudah cukup lama dan memang nyaman.” Ia menyelipkan senyum setelah mengungkapkan pernyataan tersebut.

Aku pun mengimbanginya dengan senyuman. “Keren, Mas. Tetap semangat Lantas adakah kegiatan lain enggak. Mungkin kegiatan seperti itu, maaf nih menjenuhkan?” tanyaku dengan sopan dan hati-hati.

“Ya enggak ada, paling ya saya setiap malam sekadar berkumpul, bertukar cerita bersama teman atau sahabat.” Ia menyengir.

“Hmm, hidup itu sederhana ya mas.” Aku menimpali

“Bersyukur Mbak intinya dan lakukan aja yang terbaik. Toh, hidup juga sementara gak ada yang kekal.” Lelaki bernama Andre itu tersenyum lagi.

Jangan heran bila ia tersenyum. Karena itulah ciri khasnya.

“Ngomong-ngomong Lazismu Nganjuk sekarang programnya apa?” Ia menambahkan.

“Kami masih fokus dengan penggalangan dana, akhir-akhir ini kan cuacanya tidak menentu, tapi kegiatan utama ya ZIS tetap berjalan mas. Ya, barangkali aja Mas ingin berdonasi di kami, bisa mas.”Aku menjelaskan singkat dan menawarkan sesuatu.

“Nih, ada bukti jika Mas berdonasi di kami. Kami akan tasyarufkan Mas. Dan nama Mas akan tercatat dalam laporan donasi masuk biar yang berdonasi senang,” imbuhku sembari menyodorkan contoh buletin.

“Loh, ada buletinnya juga?” Ia mengambil buletin yang kusodorkan tersebut.

Matanya menjelajah buletin. Sementara aku hanya melihat dirinya yang sepertinya antusias dengan buletin tersebut.

“Ya mungkin kayaknya seperti ini aja yang bisa kami berikan tapi yang penting adalah pentasyarufannya.” Aku memberikan senyum terbaikku.

Ia meletakkan buletin. “Mantap nih. Tapi saya bayarnya gak rutin loh, tiap bulan bisa berubah nominalnya.”

“Enggak masalah, kami menerima dan tidak menilai hal seperti itu.” Aku terkekeh.

“Okelah, Mbak. Siap saya.” Ia berkata dengan mantapnya.

Senyuman terlukis di wajahku. “Terima kasih, Mas. Baik banget.”

Andre menatapku sekilas. “Saya biasa aja, Mbak. Gak baik-baik amat. Masih ada yang lain yang lebih baik dari saya.”

Aku heran. Di era seperti ini dimana kebanyakan orang mulai memperdulikan kehidupan dunianya, lelaki ini justru unik.

Aku penasaran kenapa ia setiap hari berkumpul bukannya itu melelahkan jika dilakukan setiap hari apalagi malam.

“Lantas kenapa Mas tiap malam juga seringkali bahkan tiap hari selalu dengan rekan atau sahabat?”

Aku mengatakan kalimat tersebut sebenernya bukan untuk mencari lebih dalam tentang pribadi dirinya. Hanya saja, aku heran dengan sikap sederhana darinya.

“Sebenarnya saya sama siapa saja peduli, bukan cuma orang terdekat saja. Ya kalau mereka mau sama saya juga boleh kalau enggak mau berteman dengan saya juga gak masalah. Dunia ini luas, Mbak. Intinya ya tetap baik saja dengan siapapun,” ucapnya panjang lebar.

Seketika aku terharu dengan apa yang ia lontarkan barusan. Bagiku hal tersebut luar biasa.

“Salut saya dengan Mas Andre ini. Jarang banget ada orang yang humble kayak Mas. Orang yang kaya saja belum tentu melakukan hal seperti itu. Saya bukannya mengejek orang kaya hanya saja saja berbicara faktanya.” Aku berkata dengan mantapnya.

Belum sempat aku memberikan pernyataanku, beliau sudah menyela “Apapun yang kita dapat harus dapat disyukuri, ya seperti ini juga merupakan bentuk syukur secara sederhana sebenarnya. Kalau kita bersyukur, hidup akan menjadi bahagia. Bahagia juga harus dibagi dengan orang lain. Bayangkan saja roda kehidupan kita yang berada di bawah. Kita juga merasakan getirnya hanya untuk mendapatkan sesuap nasi, maka berbagi dengan sesama manusia lebih penting bagi saya.” Ia berucap panjang lebar. Sementara, aku menyimak apa yang ia ucapkan sembari mencerna ucapan pria bijak ini.

Pun kemudian aku mengiyakan ucapannya. Kurasa itu sangatlah tepat.

Inilah salah satu motivator. Kisah ini dapat memberikan kita semangat untuk kebaikan dunia dan akhirat.

Cerita oleh Amelia Widyastiana

Dari kisah nyata, hanya nama yang diganti